Tidak
semua perjalanan pulang ke kampung halaman berujung pada kenangan. Terkadang ada
hal lain yang justru membuka mata kita, menggugah jiwa, dan menyadarkan kita tentang
arti warisan leluhur yang nyaris terlupakan.
Ada
rasa yang sulit dijelaskan dengan kata ketika kaki ini menjejak kembali di tanah
kelahiran, Padang, Sumatera Barat beberapa waktu lalu.
Udara
khas pegunungan menuju rumah nenek terasa lebih akrab, aroma masakan rasanya lebih
menggoda, dan senyum orang-orang di kampung terasa tetap hangat menyambut kami
dari perantaua meski telah bertahun-tahun tidak bertemy.
Ya,
itulah yang kurasakan saat ikut pulang kampung ke Padang, Sumatera Barat,
tepatnya ke Desa Piliang Labuah, Batusangkar.
Kali
ini aku memutuskan untuk upgrade pengalaman pulang kampung dengan melakukan
wisata budaya ke Istana Pagaruyung Batusangkar, sebuah tempat yang membuatku
merasa seperti bangsawan Minang satu hari.
Perjalanan
Menuju Istana Pagaruyung di Batusangkar
Pagi
itu, suasana langit di Desa Piliang Labuah tampak begitu cerah meski udara
dingin pegunungan masih menyelimuti halaman rumah nenek. Sambil menyeruput teh hangat
dan kue lodu buatan nenek, kami bersiap-siap untuk berkunjung ke Istana Pagaruyung
di Batusangkar.
Jarak
perjalanan dari rumah nenek ke Pagaruyung tidak jauh, hanya sekitar 15 menit dengan
menggunakan kendaraan pribadi. Namun, untuk menghindari kemacetan dan antrean
pengunjung yang kerap memadati kawasan Istana Pagaruyung, kami memutusakan
berangkat pagi sekitar pukul 09.00 WIB.
Sepanjang
perjalanan menuju Batusangkar, tempat di mana Istana kebanggaan masyarakat
Minang berada, mata kami dimanjakan dengan pemandangan hamparan alam yang hijau
serta segar. Di beberapa sudut jalan masih tampak sejumlah rumah masyarakat
yang masih mempertahankan bangunan khas Minangkabau, tapi dibalut gaya modern.
Mendekati
kawasan istana, dari kejauhan aku sudah bisa melihat atap gonjong dari Rumah Gadang yang menjulang tinggi,
seolah ia tengah menyapa para pengunjung dari balik bukit.
Meski
aku adalah lahir di ranah Minang, namun perjalanan ke Istana Pagaruyung ini
adalah pengalaman pertama bagiku, karena selama ini aku jarang bisa ikut keluarga
besar pulang ke Padang. Aku terlalu disibukkan dengan sejumlah aktivitas pekerjaan
dan terkadang jadwal pulang kampung tidak sesuai dengan jadwalku.
Itulah
mengapa aku sangat teharu saat pertama kali menyaksikan bangunan megah yang
selama ini hanya bisa kulihat dari foto atau cerita.
Sesampainya
di gerbang utama, kulihat hamparan halaman luas dan bangunan istana yang
berdiri megah di tengahnyaa. Udara terasa lebih segar, dan suasana begitu
tenang. Setelah membeli tiket masuk, kami pun melangkah pelan ke arah istana, dan
bagiku pibadi, perjalanan ini bukan
sekadar wisata, tetapi pengalaman berharga yang kaya makna.
Istana
Pagaruyung, Simbol Kemegahan dan Kearifan Budaya Minangkabau
Di
Istana Pagruyung, aku banyak belajar tentang budaya dan adat istiadat tanah
kelahiranku. Ternyata budaya Minangkabau itu bukan hanya soal rumah gadang dan
baju adat, tapi juga tentang filosofi hidup yang sangat dalam dan membumi.
Istana
Pagaruyung yang terletak di Batusangkar ini adalah bukan sekadar bangunan indah
yang megah dengan gonjong menjulang. Tetapi rumah adat Sumatera Barat yang
disebut Rumah Gadang ini adalah bagian dari representasi filosofi hidup orang
Minang, yakni “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”
Arsitekturnya bangunan Istana Pagaruyung (Ruma
Gadang) ini tampak memukau, yang dilengkapi dengan ukiran penuh makna dan
warna-warna yang mencerminkan semangat serta kebijaksanaan leluhur.
Begitu
kaki melangkah masuk ke dalam istana, rasanya seperti ditarik ke masa lalu. Di
dalam istana, kulihat replika singgasana raja, pakaian adat lengkap dengan
suntiang yang megah, dan berbagai benda pusaka yang menyimpan cerita panjang
tentang kerajaan Minangkabau. Setiap sudutnya berbicara, seolah ingin
mengingatkanku, “Inilah warisan leluhurmu.”
Pengalaman
Tak Terlupakan saat Menjadi Anak Daro Sehari
Salah
satu momen paling berkesan adalah ketika aku mencoba pakaian adat Minang.
Dengan suntiang bertingkat di kepala dan baju kurung berhias benang emas, aku
merasa seperti anak daro dalam pesta pernikahan adat. Rasanya bangga, haru,
dan... sedikit pegal karena beratnya suntiang!
Namun
lebih dari itu, aku merasa terhubung. Pakaian itu bukan sekadar kostum wisata,
tapi simbol identitas. Aku bukan hanya pengunjung, tetapi aku adalah bagian
dari cerita.
Bagi
yang ingin berwisata ke Istana Pagaruyung, bisa datang mulai jam buka kawasan
wisata, yakni setiap hari pukul 08.00–18.00 WIB.
Untuk
tiket masuk ke Istana Pagaruyung adalah sangat terjangkau. Namun di dalam
kawasan ini kita akan dikenakan biaya tambahan jika ingin berkeliling area
istana naik kuda dan tambahan biaya lainnya jika ingin menyewa pakaian adat.
Kesimpulan
Perjalanan
pulang kampung ke Padang, Sumatera Barat ini bukan hanya tentang melepas rindu
dengan sanak saudara di kampung halaman, bukan juga tentang foto-foto cantik
atau cerita untuk media sosial. Tetapi ini adalah tentang menemukan kembali
jati diri. Tentang menyadari bahwa budaya bukan sesuatu yang kuno, tapi warisan
hidup yang bisa kita peluk dan banggakan.
Istana
Pagaruyung mengajarkanku bahwa menjadi bagian dari Minangkabau bukan hanya soal
darah, tapi juga tentang memahami nilai, menghargai sejarah, dan meneruskan
cerita.
Happy
travelling!
Posting Komentar