Coba
sejenak kita bayangkan sebuah ruang sunyi. Di sana ternyata ada banyak suara
tertahan, mata-mata yang menunduk, dan luka-luka yang tersembunyi di balik
senyum yang dipaksakan.
Ya,
di ruang sunyi tersebut, banyak yang memilih diam dan memendam lukanya sendiri,
karena merasa tak sanggup menerima stigma publik jika mereka bersuara meski itu
adalah untuk mendapatkan keadilan.
Akan
tetapi, ada satu suara yang berani pecah untuk menembus dinding stigma dan
ketakutan. Suara itu adalah milik seorang perempuan muda yang juga pernah
terluka, dan kini menjadi cahaya harapan bagi mereka yang nyaris padam. Dia
adalah Justitia Avila Veda.
Meskipun
Justitia bukan tokoh yang sering muncul di layar kaca atau pun selebritas yang dielu-elukan, Tapi bagi mereka
yang pernah merasa hidupnya hancur karena kekerasan seksual, Justitia
adalah harapan.
Fakta
Terkini Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia 2025
Di
tengah hiruk-pikuk modernisasi dan digitalisasi, Indonesia masih terus bergulat
dengan satu kenyataan pahit, yakni banyaknya kekerasan seksual yang terus
terjadi, bahkan jumlahnya kian meningkat.
Menurut
data resmi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KemenPPPA), disebutkan bahwa hingga Juli 2025 tercatat sekitar 14.039 kasus
kekerasan terjadi terhadap perempuan.
Sementara
itu, berdasarkan laporan National Center for Missing & Exploited Children
(NCMEC), menunjukkan bahwa di tingkat dunia Indonesia menempati peringkat
ketiga dalam hal kasus eksploitasi seksual anak secara daring, dengan jumlah
mencengangkan, 1.450.403 kasus.
Angka
ini bukan hanya sekadar statistik, melainkan sebuah alarm keras, bahwa sistem
perlindungan kita bagi mereka yang menjadi korban masih jauh dari kata cukup.
Awal
Perjalanan Justitia Avila Veda: Dari Seminar ke Aksi Nyata
Justitia
bukanlah seorang aktivis instan. Perempuan muda ini memulai langkahnya dari
sebuah seminar yang membahas tentang kesetaraan gender, di mana hal ini membuka
matanya terhadap ketidakadilan yang banyak dialami perempuan.
Justitia
tidak lahir dari ruang steril. Ia tumbuh dari pengalaman pahit yang pernah
merobek rasa aman dan harga dirinya. Ya, ternyata Justitia pernah mengalami
pengalaman pahit terkait kekerasan seksual. Namun, alih-alih tenggelam dalam
trauma, ia memilih bangkit. Pengalaman pribadinya sebagai seorang penyintas
kekerasan seksual telah menjadi bahan bakar dalam perjuangannya.
Bukan
untuk membalas, tapi untuk membela. Karena ia tahu betul bahwa kekerasan
seksual bukan sekadar pelanggaran fisik, tapi juga perampasan hak untuk merasa
utuh sebagai manusia.
Kekerasan
seksual bukan hanya soal tubuh yang disakiti, tapi juga tentang jiwa yang
dirampas. Korban seringkali merasa bersalah, malu, dan takut. Banyak yang
memilih diam karena khawatir tak dipercaya. Di sinilah Justitia hadir sebagai
sosok yang bukan untuk menghakimi, tapi untuk mendengarkan.
Mengubah
Rasa Takut Menjadi Gerakan
Justitia
percaya, perubahan itu tak selalu datang dari panggung besar. Kadang, ia juga
bisa lahir dari ruang kecil, dari obrolan hangat, dari pelukan yang tulus, bahkan
dari keberanian untuk berkata “saya percaya padamu.”
Dalam
perjuangannya, Justitia mendorong masyarakat untuk lebih peduli. Bukan hanya
lewat kampanye, tapi bisa dilakukan dengantindakan nyata, yakni mendukung
korban, menyebarkan edukasi, dan menolak budaya patriarki yang membungkam suara
perempuan.
Selain
itu, ia juga mengajak para lelaku untuk ikut serta. Karena kekerasan seksual
bukan hanya masalah perempuan. Ini adalah masalah kemanusiaan. Dan korban pun
bisa saja dari pihak kaum adam.
Setelah
menyelesaikan studi psikologi, Justitia memutuskan memilih jalur yang jarang
ditempuh banyak orang, yakni menjadi pendamping hukum pro bono bagi korban
kekerasan seksual.
Ia
bergabung dalam kolektif @advokatgender, sebuah inisiatif yang menyediakan
konsultasi hukum gratis dan ruang yang aman bagi para penyintas. Di sana, ia siap
mendengarkan, membimbing, dan mendampingi korban melewati proses hukum yang
seringkali rumit dan menyakitkan.
Ketika
Sebuah Cuitan Menjadi Gerakan: Lahirnya KAKG dari Gagasan Justitia Avila Veda
Sebuah
cuitan bisa jadi hanya sekilas lalu di linimasa. Tapi bagi Justitia Avila Veda,
melalui satu unggahan di Twitter miliknya, telah menjadi titik awal lahirnya
gerakan yang kini berdampak luas, yakni Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender
(KAKG).
Berawal
dari keresahan yang mendalam terhadap minimnya akses bantuan hukum bagi korban
kekerasan seksual, Justitia memutuskan untuk membuka ruang konsultasi daring
melalui akun Twitternya.
Tak
disangka, respons masyarakat begitu besar. Dalam waktu singkat, puluhan
pengacara muda menyatakan ketertarikan untuk bergabung. Mereka tidak datang
dengan ambisi, melainkan dengan empati.
Dari
sinilah KAKG terbentuk, sebuah kolektif advokat yang berkomitmen untuk
memperjuangkan kesetaraan gender dan mendampingi korban kekerasan seksual, baik
secara daring maupun langsung di persidangan. Gerakan ini bukan hanya soal
hukum, tapi juga tentang keberanian untuk hadir di titik paling rapuh dalam
hidup seseorang.
Selama
tahun pertama berdiri, dari 2020 hingga 2021, KAKG menerima lebih dari 150
laporan. Menariknya, sekitar 80 persen kasus tersebut berkaitan dengan
kekerasan berbasis teknologi, yaitu mulai dari penyebaran konten intim tanpa
izin hingga ancaman seksual melalui media sosial.
Ini
menunjukkan bahwa kekerasan seksual telah berevolusi, dan pendampingan hukum
pun harus ikut beradaptasi.
KAKG
tidak hanya hadir di Twitter. Mereka memperluas jangkauan melalui Instagram dan
TikTok, menjadikan media sosial sebagai alat edukasi dan advokasi. Di sana,
mereka membagikan informasi hukum, tips perlindungan digital, dan cerita-cerita
inspiratif dari para penyintas yang berani bicara.
Justitia
Avila Veda dan KAKG adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang
digital. Bahwa satu suara, jika disuarakan dengan keberanian dan konsistensi,
bisa menggerakkan banyak hati untuk bertindak
Tantangan
yang Dihadapi
Perjuangan
Justitia dalam memperjuangkan keadilan dan kenyaaman bagi mereka yang mengalami
penindasan, intimidasi akibat kekerasan seksual ini tidak mudah. Dalam perjuangannya,
Justitia harus menghadapi berbagai tantangan, di antaranya:
1. Stigma
sosial yang cenderung menyalahkan korban
2. Sistem
hukum Indonesia yang lamban dan kadang tidak berpihak
3. Tekanan
emosional akibat dari mendengar kisah-kisah traumatis setiap hari
4. Minimnya
dukungan psikologis dan medis bagi para korban di daerah-daerah terpencil.
Namun
bukan Justitia namanya jika ia memilih menyerah pada situasai yang dianggap
banyak orang cukup sulit ini. perempuan hebat ini memilih tetap bertahan, demi
keadilan para korban yang terabaikan. Karena bagi seorang Justitia, setiap
korban yang berani untuk bicara adalah kemenangan kecil yang layak
diperjuangkan.
Pengakuan
Atas Sebuah Dedikasi dan Harapan bagi Banyak Orang
Pada
2022, Justitia menerima penghargaan SATU Indonesia Awards sebagai bentuk
apresiasi atas kontibusi dan dedikasinya. Namun, bagi Justitia, penghargaan yang
ia dapatkan ini bukanlah tujuan. Ia hanya ingin dunia yang indah ini bisa menjadi
tempat yang lebih aman bagi semua orang, terutama untuk yang pernah merasa tak
berdaya serta terpinggirkan.
Penghargaan
yang diterima Justitia bukan sekadar simbol, tapi pengakuan atas kerja nyata
yang telah membuka jalan bagi banyak korban untuk kembali percaya pada
keadilan.
Dari
sosok Justitia Avila Veda kita diingatkan kembali bahwa keberanian bisa saja lahir
dari luka. Bahwa setiap dari kita juga punya peran dalam menciptakan dunia yang
lebih adil untuk semua.
Sebagai
bentuk dukungan untuk Gerakan yang telah dilakukan Justitia, kita bisa memulai dengan
satu hal sederhana, yakni percaya pada cerita korban. Karena dari sanalah, sebuah
perubahan dimulai.
Kita
Semua Bisa Menjadi Bagian dari Perubahan
Justitia
Avila Veda bukan satu-satunya pejuang yang peduli pada mereka yang terabaikan.
Tapi ia adalah bukti bahwa dari satu orang bisa membuat perbedaan dan perubahan
nyata. Ia mengajarkan kita bahwa empati adalah bentuk keberanian, dan bahwa
mendengarkan bisa menjadi tindakan revolusioner.
Lantas,
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pada
dasarnya kita semua bisa jadi agen perubahan karena perubahan itu tidak hanya
bergantung pada aktivis seperti Justitia. Kita semua bisa berkontribusi nyata
dalam kebermanfaatan. Terlebih di negeri ini kasus kekerasan seksual terbilang tinggi.
Dengan ikut peduli, maka kita telah membantu Justitia memberikan kenyamanan
bagi para korban yang hidup dalam tekanan, trauma, atau pun ketakutan.
Kita
bisa melakukan hal-hal kecil yang bisa memberi dampak, seperti:
1. Edukasi
seksual yang inklusif di sekolah dan komunitas
2. Kampanye
kesadaran melalui media sosial dan forum publik
3. Dukungan
moral dan hukum bagi korban
4. Partisipasi
aktif laki-laki dalam gerakan anti-kekerasan seksual
Perubahan
itu tidak menunggu panggung besar atau gelar kehormatan. Ia bisa juga dimulai
dari keberanian kita untuk berkata “cukup.” Justitia telah melakukannya. Sekaang
giliran kita untuk berdiri, mendukung, dan memastikan bahwa tidak ada lagi
suara yang terpaksa diam, hanya karena dunia memilih tidak peduli.
Dunia
yang aman bukanlah utopia, melainkan hasil dari keberanian untuk mendengarkan,
keberanian untuk percaya, dan keberanian untuk bertindak seperti yang telah
dilakukan Justitia. Jika satu suara bisa membuka jalan bagi ratusan korban
untuk bangkit, maka bayangkan apa yang bisa terjadi jika kita semua memilih
untuk tidak lagi diam.
Sumber:
LinkedIn
Justitia Avila Veda
Instagram
@Advocatgender
https://www.viva.co.id/edukasi/1765150-sosok-justitia-avila-veda-advokat-gender-yang-memperjuangkan-keadilan-bagi-korban-kekerasan-seksual
https://kumparan.com/kumparanwoman/per-juli-2025-kemenpppa-catat-ada-14-039-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-25eab5ZCyKJ
https://www.tempo.co/politik/ada-1-45-juta-kasus-eksploitasi-seksual-anak-di-internet-2076014
Posting Komentar