10
Source: Internet


"Jangan pernah kau menyentuh tanganku!" Sontak suara itu mengejutkannya. Seolah-olah ada sengatan listrik yang menjalar di tubuh. Irama napas yang tenang seketika tertahan beberapa detik. Bagaimana tidak? Beberapa detik yang lalu suasana di ruang makan itu terasa begitu hangat. Namun setelah Raziq berpamitan bekerja, wanita yang kini dipanggilnya Mama tiba-tiba saja terlihat seperti hewan buas yang tengah memamerkan taringnya. Ada sorot kebencian terpancar dari dua bola matanya saat menatap Inayah. 


"Ma, Inaya hanya ingin membantu Mama berdiri dan ke kamar," jawabnya dengan suara bergetar. 

"Aku tidak butuh bantuan perempuan sepertimu. Jijik rasanya disentuh oleh tangan yang telah merampas Raziq. Perempuan tak tahu diri. Kau rusak semuanya. Aku muak melihatmu." Sang Ibu mertua terus saja berceloteh kasar penuh makian. 


Inayah hanya terdiam. Hatinya sungguh terhenyak kaget menyaksikan reaksi wanita yang seperti kepatuk ular berbisa di hadapannya. Rasa nyanam yang sempat hinggap beberapa menit lalu mulai berguguran saat dihujani amukan overload yang dimuntahkan ibu suaminya. Tubuh mungil Inaya pun seolah tak kuasa menopang untuk tetap berdiri. Namun ia pun tak sanggup beranjak menghindari derasnya luapan kemarahan sang mertua. Rasa hormat itu memaksanya bertahan meski hati pilu. 


"Ma, aku tak pernah merampas mas Raziq. Kami saling mencintai karena Allah. Dan aku pun sangat menyayangi Mama seperti Ibu sendiri. Demi Allah aku ..." Kalimat itu terpotong dengan sahutan lebih pedas oleh mertuanya. 


"Tidak usah kau bawa-bawa Allah. Wanita sepertimu memang pandai bermain peran. Aku yakin sebentar lagi kau akan bertindak dan menyingkirkanku. Dasar wanita jalang. Kau manfaatkan kebaikan dan rasa iba anakku agar mau menikahimu. Wanita licik. Ular berbisa. Pembawa sial."


"Ma, aku sadar aku ini siapa. Hanya seorang perempuan biasa tanpa orangtua, yang kesehariannya berkecimpung dengan anak-anak panti asuhan. Menjadi istri mas Raziq adalah anugrah. Tapi bukan untuk menguasai semua yang dia punya. Aku sudah sangat bersyukur akhirnya bisa juga merasakan punya sosok seorang Ibu," jelas Inayah.


"Ahhhhh ... aku muak dengan semua ucapanmu, dengan wajah palsu yang sebentar lagi pasti akan menerkam. Enyah kau dari hadapanku. Dasar kau pembawa sial. Sang mertua terus saja menghujani Inayah dengan ucapan kasar. Suaranya bahkan semakin meninggi meneriaki sang menantu. 


Sungguh malang Inayah. Harapan akan kasih sayang itu telah terenggut dari angannya. Ia hanya mampu menatap lemah ke arah sang mertua yang tak kehabisan amunisi menyerang hati dan perasaan Inayah dengan umpatan. Pelan-pelan ditatapnya kedua mata wanita paruh baya itu. Ada lautan ombak yang terus mengamuk menghantam karang. Semakin lama semakin kuat menerjang bertubi-tubi, membuat air mata sang menantu berontak ingin keluar. Namun, sekuat mungkin dibangunnya tembok kesabaran walau hatinya remuk dengan makian.


Sikap sang mertua mulai berubah sejak Ditinggal mati suaminya. Setiap hari setelah Raziq berangkat kerja, ia akan mulai mengamuk seperti anjing gila jika melihat Inayah. Sebenarnya sang menantu sudah tidak tahan dengan ledakan emosi dan kebencian dari sang mertua. Tapi ia juga tak tega jika berterus-tetang pada Raziq. Lelaki itu sangat menyayangi Ibunya. Hingga akhirnya kebungkaman itu dimanfaatkan Ibu mertua untuk meracuni pikiran Raziq akan sosok Inayah. 

"Mas demi Allah aku tidak pernah melakukan hal itu pada Ibu. Aku sangat menyayangi dan menghormatinya." Bela Inayah saat Raziq menyalahkannya atas aduan sang Ibu. 


"Sudahlah. Aku paham betul siapa Ibuku. Aku sungguh kecewa dengan sikapmu. Kau sudah berani menyakiti wanita yang paling kusayang dan hormati. Jika memang Mama membebanimu, katakan saja. Tidak usah berpura-pura. Sampai kapanpun aku tidak akan meninggalkan rumah ini. Jika kau tidak suka, silahkan ... kau tahu jalan keluar, kan?" Itulah pertama kali Raziq bersikap acuh dan kasar pada Inayah. Hatinya benar-benar telah porak-poranda. Bahkan hujan air mata tak sedikitpun meluluhkan hati sang suami. 



Jika saja Mas tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika saja Mas Raziq tidak begitu saja mengiyakan apa kata Mama. Mas, sampai detik ini pun aku tidak pernah menyimpan benci pada Mama. Sejak Papa tiada, entah mengapa Mama seolah aku ini sumber masalah. Aku tidak berterus terang karena aku tak ingin merusak hubunganmu dengan Mama. Setiap hari tanpa ada Mas di rumah adalah kesedihan untukku. Karena setiap hari Mama terus membasahiku dengan umpatan, makian, bahkan penghinaan. Sekarang Mas pun tak lagi sehangat dulu. Bahkan telah secara langsung mengusirk. Tetapi setelah satu langkah aku keluar dari rumah, ternyata hatiku jauh lebih tentram. You don't need yo call me back, then. 


Love, 


Inayah

Posting Komentar

  1. Iiiiiih.. Benci banget sama sosok ibu mertua nya.. Keren mb Rika, kena banget karakternya. Setuju sama inayah, udah..tinggal pergi aja! 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. naudzubillah... semoga kita diberi mertua yang baik hati dan penyayang. aamiin

      Hapus
  2. Syeremmm..Alhamdulillah dulu almarhumah mama mertua baik dan sayang.dari beliau saya belajar ntar kalau jadi mertua akan sebaik beliau ngga mau galak2 ah 😁😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe... iya serem pisan. ini tantangan Reading Challenge. diminta membuat cerpen yang konfliknya sama dengan salah satu Kumcer yang dibaca.

      alhamdulillah mertuanya baik hati ya mbak

      Hapus
  3. Sedih, semoga tidak terjadi pada siapapun

    BalasHapus
  4. Fiksi yang menyedihkan, mengharukan tapi apakah pergi bisa menyelesaikan perselisihan?

    BalasHapus
  5. apakah cerita ini berdasarkan pengalaman?? apakah benar ada karakter ibu mertua yang seperti itu di dunia ini?? hhmmmm entah lah yang jelas semoga tidak terjadi pada keluarga kami. mantap nih ceritanya

    BalasHapus
  6. Wow sosok mertuanya nggak banget deh, sampai ribut begitu Alhamdulillah aku nggak itu walau baru-baru nikah dulu penyesuaiannya lama

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah alm ibu mertuaku baik.

    BalasHapus

 
Top