2



Wabah ponsel canggih berbalut fitur-fitur menarik dan mengagumkan telah berhasil memalingkan perhatian banyak orang akan sekitarnya. Kini banyak orang yang cenderung sibuk dan serius bercengkerama dengan gadget miliknya. Tak lagi peka akan kondisi di sekitarnya bahkan di tengah-tengah keramaian sekalipun. Cenderung bersikap apatis karena terlalu fokus dan asik dengan ponselnya. Kondisi seperti ini dianggap sebagian orang sebagai sikap anti sosial dan seperti hidup di dunianya sendiri. Akhirnya tercetuslah ungkapan “autis” yang dilabelkan pada orang-orang semacam ini. Mereka dengan mudahnya melontarkan kata-kata: dasar autis, orang autis, atau jangan autis deh, dan kata-kata yang mengandung unsur serupa.  

Istilah austis atau autisme kerap dijadikan bahan gurauan ataupun ejekan untuk orang-orang yang terlalu sibuk dan serius dengan aktifitasnya. Mengapa harus kata “autis? Bukan istilah lainnya seperti: orang aneh atau apatis? Karena autis sendiri adalah istilah yang mengacu pada sikap tak concern seseorang dengan lingkungan ataupun yang terjadi di sekitarnya.  

Lantas apa sebenarnya makna kata autis? Menurut  Kartono (2000), autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar, keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.

Autis bukanlah istilah baru dalam masyarakat, namun sampai saat ini masih banyak orang yang menganggap anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perilaku dan kejiwaaan. Karena sikap anti sosial, sering tenggelam dan asik dengan dunia sendiri yang kadang terlihat aneh, kurang responsif serta sering melakukan suatu kegiatan secara repetitif. Hal inilah yang memunculkan persepsi keliru pada sebagian masyarakat. Padahal anak autis itu sama dengan anak normal lainnya. Bahkan ada yang memiliki IQ tinggi. Mereka normal. Hanya saja ada gangguan di saraf otak yang berakibat pada kinerja dan fungsi otak secara normal. Gangguan ini kemudian teraplikasi dalam sikap dan perilaku.

Hari ini, 2 April 2017 adalah hari yang secara internasional diperingati sebagai hari kepedulian terhadap autisme sedunia. Saya yakin teman-teman sangat paham tentang autis. Jadi saya tidak akan mengulasnya lebih jauh lagi. Namun pada momen yang tepat ini saya hanya ingin mengajak teman-teman untuk tidak sembarangan menggunakan kata autis. Tulisan ini pun terinspirasi dari seorang murid saya yang menyandang autis serta anggapan beberapa rekan pengajar yang men-judge bahwa ia anak aneh yang mereka juluki “freak boy”. Padahal ia seorang yang cerdas dan memang perilakunya sedikit berbeda dengan murid yang lainnya. Ia hanya mau berkomunikasi dengan saya dan akan marah dengan emosi berlebihan jika ada yang membuatnya tidak nyaman.

Teman-teman, tanpa kita sadari, julukan autis yang sering kita arahkan pada orang-orang yang kita anggap aneh, telah melukai perasaan mereka yang keluarganya menyandang autis. Kita tidak pernah tahu bagaimana perjuangan mereka agar anggota keluarga yang autis itu bisa menjadi normal. Kita tidak pernah tahu lelahnya mereka merawat anak dengan kondisi seperti itu. Sedihnya mereka. Coba bayangkan. Posisikan diri kita sebagai mereka. Bagaimana perasaan kita saat di luar sana orang-orang memasukkan kata “autis” dalam percakapan yang bemuatan ejekan? Stop teman-teman. Hal itu akan sangat menyakitkan. Itu adalah pendzoliman secara verbal.

Nabi kita yang mulia, Muhammmad SAW bersabda, “Ucapkanlah perkataan yang baik atau diamlah.” Jadi jika perkataan itu akan menyinggung dan menyakiti orang lain, maka lebih baik tidak kita ucapkan. Ingatlah apa yang dikatakan Rasulullah SAW , “Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Jadi kita memang harus menjaga lisan dan memfilter segala ucapan yang hendak kita lontarkan agar orang lain tidak tesakiti dan bersedih hati.

Sekali lagi teman-teman, pada hari kesadaran dan kepedulian autisme sedunia ini, marilah kita bersama menggaungkan rasa peduli dan empati terhadap penyandang autis. Autismn is not the object of joking. It’s not funny and right.  Dan bagi keluarga yang anggota keluarganya menyandang autis, kami sadar itu tidak mudah untuk terus berjuang merawat, mengasuh dan mendidik seorang autis. Kami tahu pasti sangat melelahkan, mungkin juga ada rasa sedih, kesal, serta putus asa. Tapi percayalah Allah yang maha pengasih dan penyayang tidak akan mengabaikan perjuangan itu. Tetaplah semangat. Yakinlah kelak sang autis akan menjadi sesuatu yang membanggakan.

“World Autism Awareness Day”, we care, we respect, and we are with you.

#OneDayOnePost
#HariAutisInternasionsal

Bandar lampung, 2 April 2017



Posting Komentar

  1. This is sooo subhanalLlah Kak!!

    Memfilter segala ucapan...masya Allah. Jazakillah for reminding Kak

    BalasHapus
  2. Wajazaakillahu khoir mbak Hikmah. Semoga bermanfaat ya mbak

    BalasHapus

 
Top