7
Foto by: Charismamag.com


Anak-anak sering dianggap sebagai sosok malaikat kecil. Pendapat ini muncul karena mereka umumnya dipercaya sebagai figur kecil dengan hati bersih dan tanpa dosa. Kalian pasti setuju denganku ketika aku mengatakan bahwa adalah hal yang menyenangkan berbaur dengan mereka; melihat pola dan tingkah laku dan bahkan ketika kita menyaksikan kenakalan mereka. Tetapi apa yang kulihat di sekitar benar-benar berbeda. Ada banyak kondisi yang menempatkan anak-anak sebagai korban hasrat orangtua. Dalam tulisan ini aku ingin sedikit berbagi tentang apa yang terjadi selama jam mengajarku.


Aku paham betul bahwa setiap orangtua ingin anak-anaknya meraih pencapaian terbaik dalam pendidikan mereka. Sebagian orangtua berpendapat bahwa untuk mencapainya, dibutuhkan beberapa cara seperti dengan belajar giat siang malam, atau mengikuti pelajaran ekstra melalui lembaga bimbingan belajar atau dengan memanggil guru privat ke rumah. Orangtua yakin bahwa anaknya akan menjadi lebih baik dan berprestasi jika mengikuti les tambahan di luar aktifitas sekolahnya. Itulah alasan mengapa banyak orangtua yang mendaftarkan anaknya ke beberapa lembaga bimbingan belajar atau les. Hal ini tentu saja mengakibatkan sang anak menjadi lebih sibuk dengan banyaknya aktifitas yang sudah dimulai dari pagi jam sekolah hingga sore bahkan menjelang malam. Bukankah ini seperti terkurung dalam sebuah pekerjaan atau aktifitas sehari penuh? Menurutku ini sangat memprihatinkan bagi anak-anak. Kesibukannya melebihi orang dewasa (pekerja).


Hari ini adalah hari pembagian sertifikat hasil belajar murid-muridku selama enam bulan di level basics. Ujian kemampuan materi yang berlangsung selama empat hari akan menentukan apakah mereka layak melaju ke level selanjutnya (Pre-Primary 1) atau tidak. Materi ujian terdiri dari Reading Comprehension, Grammar, Vocabulary, Dictation, Conversation, dan Reading text. 


Jujur saja aku sangat senang, penasaran, juga cemas akan hasil ujian mereka. Di sinilah kesuksesanku mengajar akan terlihat. Keberhasilan muridku adalah keberhasilanku. Akhirnya aku pun dapat tersenyum puas saat mengecek sertifikat mereka sebelum memasuki ruang kelas. Sebagian besar muridku meraih nilai terbaik dibandingkan dengan kelas lainnya. Hanya dua orang yang gagal melaju ke level selanjutnya. Hmmm...ini sungguh waktu tersulit bagiku. Mengapa? Aku harus menghadapi, berbicara, dan memberi pengertian kepada sang orangtua tentang kegagalan anaknya.


Benar saja dugaanku, sang orangtua kelihatan sangat marah dan tidak dapat menerima kegagalan anaknya. Hal ini bahkan membuat orangtua tersebut tanpa segan langsung menumpahkan segala kemarahannya pada anak. Sang anak dicap sebagai orang yang paling bodoh. Orangtua menyalahkan anak seolah-olah si anak telah melakukan kesalahan serius yang tak termaafkan. 'Oh...ya Allah, menyakitkan dan sedih harus menyaksikan hal ini. Melihat muridku seperti menjadi terdakwa.' Batinku saat itu. Murid itu nampak ketakutan dan juga malu. Aku pun tak tahan dan mencoba yang terbaik untuk membelanya dan memberikan pengertian pada sang orangtua. Sayangnya hal itu sia-sia. Orangtua itu tetap pada pendapatnya bahwa anaknya benar-benar bersalah.


Wahai orangtua, aku ingin kalian pahami ini. Aku tahu ini bukan hak dan kapasitasku untuk mengatakan hal ini pada kalian, karena aku belum berada di posisi kalian (orangtua). Tetapi aku pun pernah menjadi seorang anak. Dan tentunya kalian juga, kan? Bisakah kalian rasakan apa yang anak-anak kalian rasakan saat mendapat perlakuan itu? Ketahuilah, cara kalian memperlakukan mereka akan berpengaruh pada karakter serta tumbuh kembang mereka. Tidakkah kalian sadar bahwa kemarahan itu sesungguhnya tidak akan mengubah apapun? Mereka tidak akan menjadi le bih baik, bahkan bisa dipastikan bahwa mereka justru akan menjadi lebih bodoh. 


Ingatlah bahwa mereka masih anak-anak. Jangan terlalu memaksakan mereka hanya untuk memenuhi hasrat kalian. Lebih baik bermuhasabah dan banyak beristighfar. Karena bukan tidak mungkin kesalahan itu datang dari diri kalian sendiri sebagai orangtua. Bagaimana bisa? Sudahkah kalian memberikan contoh yang baik pada mereka? Jangan lupa anak-anak adalah para peniru ulung. Artinya, apapun yang kita lakukan, sikap dan kebiasaan kita, akan menjadi apa yang mereka lakukan. Bagaimana bisa kalian menyuruhnya menjadi pandai jika caranya tidak pernah kalian tunjukkan. Anak-anak harus diajarkan bagaimana caranya berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan.


Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua cenderung mempercayakan apapun pada lembaga kursus yang anak ikuti. Orangtua tidak pernah ada untuk terlibat mengajari anak, mengevaluasi pelajaran anak di rumah, atau bahkan hanya untuk menemani mereka belajar di rumah. Para orangtua berdalih mengatakan bahwa mereka tidak punya kemampuan dalam pelajaran anaknya. Ini bukanlah alasan yang tepat. Coba duduklah dekat mereka, temani mereka ketika sedang mengerjakan tugas atau mempelajari buku mereka. Bukannya sibuk bersosial media, main ponsel, atau menonton sinetron. Percayalah bahwa dengan hanya melakukan hal itu, mereka akan merasa lebih nyaman untuk menikmati serta mencintai belajar. Mereka akan lebih bertanggung jawab akan pelajaran dan kewajibannya sebagai anak juga murid.


Anak-anak bukanlah robot yang bisa diprogram sesuai kehendak. Masa anak-anak adalah waktu di mana seharusnya mereka bisa menikmati berbagai kesenangan. Bukannya dibebani oleh segudang aktifitas dan tuntutan sebagaimana yang orangtua inginkan. Biarlah mereka menikmati masanya. Percayalah bahwa setiap anak lahir dengan bakat dan fitrahnya masing-masing. Tidak perlu menyibukkan mereka dengan berbagai les atau kegiatan. Lebih baik berikan fokus pada kemampuan dan bakatnya. Dengan begitu sang anak bisa menjadi kebanggan sesuai passionnya, tanpa paksaan dan tuntutan.


Wahai para orangtua, tolong hentikanlah menyakiti perasaan mereka. Anak-anak adalah hal yang telah kaian harapkan kehadirannya dalam hidup. Menyudutkan dan mencap mereka bersalah hanya karena tidak mampu memenuhi keinginan kalian hanya akan merusak mereka perlahan-lahan. Belajarlah untuk menghargai setiap hal yang telah mereka lakukan, bahkan ketika mereka menghadapi kegagalan sekalipun. Menunjukkan penghargaan merupakan salah satu kunci menciptakan kedamaian disekitar kita.


#HijaberWriter@RikaAktair
#ODOPFictionClass
#Materi4


Posting Komentar

  1. Di sekolah anakku, setiap sebulan sekali ada pertemuan walimurid. Di sana kepala sekolah dah wanti wanti agar orang tua tetap memantau anak di rumah, juga agar tidak memaksakan nilai yang tinggi pada anak anaknya. Sekolah dan rumah harus saling bekerjasama untuk mencapai keberhasilan anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Wid suka sedih kalau ada orangtua yang cenderung melimpahkan segala maunya pada anak. Saat anak gagal mereka tak segan meluapkan emosi bahkan didepan teman sang anak.

      Hapus
  2. So wise masyaallah, Kaak.

    Ini reminder buat saya juga. A mom. Tenkyuu, Kak Rikaa. Jazakillahu khyr💚💚

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wajazakillahu khoir mbak Hikmah. I Pray the best for you :)

      Hapus
  3. Ya Allah....ikut sedih bacanya.... Ortu yg begitu biasanya krn punya keinginan terpendam yg ngga tercapai. Lalu berharap bisa dicapai oleh sang anak. Kasian anaknya jd tumpuan keinginannya yg terpendam....

    BalasHapus

 
Top