4
Hari ini hari terakhir bagi Fathan dan Khair menjejakkan kaki di tanah air, karena beberapa jam lagi mereka akan segera terbang bersama Garuda Airlines menuju Brunei Darussalam. Keluarga dan sahabat tak kuasa menahan haru saat mengantar untuk melepas keduanya pergi ke negeri kaya minyak itu. Terutama Khaira sendiri yang terlihat berat melangkah saat akan menuju pesawat yang akan segera take off. 

"Baik-baik disana ya nak. Patuhi suamimu. Jadilah istri yang soleha serta dapat menyejukan hati suami." Pesan sang mama pada Khaira. 

Dipeluk erat sang mama oleh Khaira. Ia tak kuasa menahan buliran air mata yang sejak tadi tak sabar ingin membanjiri pipinya. Ia tak mampu berkata apapun. Hanya terus terhanyut dalam tangis dan tak ingin melepaskan pelukan itu. Berat rasanya harus berpisah dengan orang-orang yang paling disayanginya. 

"Khaira sayang, denger mama, ini bukan untuk selamanya. Nanti kita juga bisa bertemu lagi. Kasian Fathan sudah menunggu". Bujuk sang mama agar Khaira ikhlas dengan keberangkatan itu. 
"Khaira pasti kangen banget sama mama". Dilepasnya pelukan itu.

Sang mama tahu betul bahwa sang putri kesayangannya itu berat berpisah dengannya. Ia berusaha meyakinkan anaknya agar tak larut dalam perasaan itu. Setelah dengan lemah lembut memberi pengertian, akhirnya Khaira mampu melambaikan tangan sambil berjalan menuju sang suami.

Akhirnya setelah kurang lebih satu setengah jam didalam burung besi, Fathan dan Khaira tiba di bandara Internasional Brunei Darussalam. Seorang lelaki berumur kira-kira 40 tahun sudah menunggu dengan memegang papan nama Fathan di dadanya. Ia pun segera menghampiri sang penjemput.

"Assalamu'alaikum", sapa Fathan
"Walaikumsalam warahmatullah", sahut lelaki itu.
"Tuan Fathan Al Fariez?" Tanyanya memastikan.

Sebagian besar penduduk Brunei berasal dari rumpun Melayu, sehingga bahasa pengantar yang digunakan kebanyakan adalah bahasa Melayu. Jadi ini memudahkan komunikasi bagi pengunjung yang tidak bisa atau kurang paham dengan bahasa Inggris. Sekitar lima belas menit perjalanan dengan mobil jemputan itu, mereka pun tiba di sebuah rumah tinggal yang telah disiapkan oleh perusahaan, yang berlokasi di daerah Muara Town, Bandar Sri Begawan. Rumah bernuansa biru itu tampak begitu sejuk dengan dikelilingi beberapa pohon besar disekitarnya serta beberapa bunga cantik di sekitar terasnya. 

"Hopefully, you will enjoy the days here, if you need something, just contact this number (pak Ibrahim, sang penjemput, memberikan sebuah kartu nama). 
"Thank you, sir", jawab Fathan saat menerima kartu nama itu. 
"Well, I've to go now. Assalamu'alaikum". Pak Ibrahim berpamitan.
"Walaikumsalam, take good care of yourself, sir", kata Fathan.

Saat di dalam rumah, Fathan begitu mengagumi suasana didalamnya. Semua perabotan tersusun sistematis dan rapih. Ada sebuah sofa biru di tengah ruangan dan sebuah televisi layar datar yang terpajang di dinding ruangan. Disebelah kiri sofa ada sebuah jendela kaca berukuran cukup besar, yang saat melihat melaluinya, akan disuguhkan dengan kolam ikan beserta pancuran air buatan yang dikelilingi bebatuan berwarna putih dan hitam. 

"Neng, lihat deh ini (Fathan menggandeng tangan Khaira menuju jendela), indah banget ya". Namun sang istri tak bersuara sedikitpun, dan ia pun segera menyadari hal ini. 
"Neng kenapa? Ga suka tempatnya? Atau aa ada salah?" Tanya Fathan mencari tahu penyebab murungnya sang istri. 

Rupanya Khaira sudah tak dapat menahan dorongan air matanya yang ingin menyeruak keluar. Segera dipeluknya sang suami dan tumpahlah buliran bening itu seketika. Begitu deras dan tangisnya pun terdengar sesegukan. Fathan mengusap kfelala sang istri. Dan saat sang wanita mulai agak tenang, dibawanya duduk di sofa biru itu. Digenggamnya tangan lembut itu. Ditatapnya wajah yang masih tertunduk dan terisak. 

"Neng, dengerin aa. Aa tau neng sedih dan berat buat ikut sama aa kesini. Ninggalin orang-orang yang neng sayangin. Mungkin ini terlalu cepat, sehingga neng ga sempet ngabisin waktu lebih banyak dengan mereka. Aa ngerti banget yang neng rasain sekarang. Jadi neng ga usah pendam semua itu sendirian. Kalau neng mau nangis, menangislah sepuasnya. Neng mau marah, mau pukulin aa pun, ya sok silahkan. Aa ga akan marah. Ga akan bales. Aa akan diem aja dan temenin neng sampe puas nangisnya. Yang penting neng bisa lega". Ujar Fathan.
"Aa...". Khaira tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Kelembutan dan kebaikan Fathan begitu mengharukannya. Dipeluknya erat sang suami. "Makasih a". Hanya itu yang mampu ia ucapkan.

(Bersambung)

#OneDayOnePost
#TantanganCerbung


Bandar Lampung, 15 Desember 2016



Posting Komentar

 
Top