0

"Kamu ini mikir ga sih? Asal daftar-daftar aja. Nanti kalau ga diterima atau ditipu gimana?" Lelaki itu meluapkan emosinya dengan suara yang menggetarkan seisi ruang tamu itu. 

Astaghfirullah. Batinku saat menjadi saksi ocehan kerabatku yang marah karena sang anak ikut mendaftar sekolah penerbangan, yang saat di sekolahnya sedang mengadakan sosialisasi kampus mereka. Hal ini sontak membuat anak lelaki bertubuh tinggi itu tertunduk diam mendengarkan celoteh kesal sang ayah. Ia tak berani sedikitpun mengangkat kepalanya apalagi menyatakan pembelaan atas dirinya.

Ibuku dan aku yang saat itu sedang bertamu hanya bisa saling pandang penuh arti. Rasanya mulut ini tidak sabar ingin mengeluarkan suara menghentikan ucapan lekaki di depan kami yang hanya memojokkan. Rasanya tidak sabar ingin menyela masuk ke tengah pembicaraan untuk mendinginkan suasana. Namun belum sempat kami memberikan pandangan, sang ayah itu masih tampak bersemangat melontarkan kata-kata penghakiman. Sepertinya ia memang tidak memberikan kesempatan pada yang lain untuk angkat bicara. 

Ya Allah, I cannot stand it anymore. Ga tahan lagi ni menyaksikan perdebatan yang didominasi satu pihak ini. Bisikku dalam hati. Benar-benat seperti sedang melihat persidangan, dimana sang anak sebagai terdakwa, sang ayah sebagai jaksa penuntut, sang ibu dan kami sebagai penonton sidang. Kasihan sekali sepupuku ini. Apa salah dia? Dia hanya ingin mendapatkan yang terbaik untuk masa depannya. Dan tentu saja, semua itu juga untuk membanggakan kedua orangtuanya. Lagipula uang Rp. 300.000 itu tidak berarti apa-apa jika sang anak sukses nanti. Mengapa tidak didukung dan didoakan yang terbaik saja? Itu sungguh akan lebih baik.

Akhirnya mama yang rupanya juga sudah geram dengan pola pikir kerabatku itu segera angkat suara.

"Maaf, menyela sebentar", kata mama.
"Apapun kemauan anak, selama itu baik dan bukan untuk hal negatif, seharusnya kita kasih dukungan dan semangat. Kita doain aja semoga usaha dia berhasil. Kalaupun gagal atau orang itu menipu, ikhlasin aja. Anggap aja ini bagian dari ikhtiar dia sebelum berhasil". Mama mencoba memberi pandangan.

Kerabatku terdiam dan sepertinya mencoba mencerna pendapat mama. Tapi sayangnya ia tetap tidak bisa menerima karena anaknya merelakan yang Rp. 300.000 itu hanya untuk mendaftar. Hmmm...dasar orang kaya pelit. Kalau untuk menambah koleksi hartanya baru ia bela-belain. Tapi kalau untuk pendidikan anaknya? Harus mikir-mikir pake semedi seminggu mungkin di gunung kidul...hehehe.

"Semua butuh pengorbanan", kata mama. Kemudian mama menceritakan bagaimana proses perjuangan ayah dan mama yang menyekolahkan anak-anaknya sesuai kemauan anak-anaknya hingga universitas. Dan sekarang hasilnya, alhamdulillah kami bisa membanggakan orangtua kami.

Bersyukur sekali punya orangtua seperti ayah dan mama yang selalu concern dengan pendidikan anak-anaknya. Karena bagi orangtua kami pendidikan harus lebih utama dari harta. Bukankah menuntut ilmu itu wajib? Dan Allah yang maha pengasih dan penyayang pasti akan selalu memudahkan setiap urusan di jalan kebaikan.


#OneDayOnePost


BandarLampung, 24 Januari 2017

Posting Komentar

 
Top